REFLEKSI HARI KARTINI AKAN ..............

REFLEKSI HARI KARTINI AKAN MENJAWAB RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
Penyelesaian pro kontra RUU APP (Rancangan Undang – undang Anti Pornografi dan Pornoaksi), akankah peringatan hari Kartini tanggal 21 April 2006 dapat membuka matahati kita semua bangsa Indonesia atas implikasi negatif adanya berbagai produk pornografi dan pornoaksi. Akankah kita sadar bahwa akar persoalan bangsa yang kita cintai ini adalah kerusakan moral bangsa utamanya generasi muda. Kata Buya Prof. Dr. A. Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) bahwa, “hampir sempurna kerusakan moral bangsa ini” artinya, “krisis moral yang dialami oleh bangsa Indonesia sudah menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, hampir tidak dapat lagi dibendung oleh gerakan apapun termasuk gerakan keagamaan”. Era keterbukaan (transparansi), ternyata menjadi kebebasan yang kebablasan, oleh karena itu sangat dibutuhkan regulasi (peraturan) yang dapat mengikat segala hal yang telah diprediksi sebagai wujud perlindungan (proteksi) terhadap moral bangsa. Banyaknya persoalan yang tak kunjung redah, misalnya: Kriminal yang terjadi pada remaja, tingginya jumlah pecandu narkotika, banyaknya remaja wanita yang melakukan aborsi dari hasil perbuatan diluar nikah, tingkat pengangguran yang tinggi, PSK (Pekerja Seksual Komersial ) semakin marak, TKI/TKW migran yang semakin bertambah banyak dan kurang mendapatkan perlindungan baik dari negeri asalnya maupun pada Negara di mana mereka bekerja, anak –anak jalanan yang semakin banyak pula akibat dari orang tua yang kurang bertanggung jawab mempekerjakan anak pada usia sekolah, trafficking anak dan perempuan dll. Semua itu problem itu muncul diakibatkan oleh krisis moral yang berkepanjangan, dan yakin kita akan bertanya, kapan semua persoalan itu bisa terselesaikan?

Gerakan perempuan untuk melenyapkan berbagai peryebab krisis moral itu telah banyak langkah-langkah yang ditempuh baik itu gerakan internal maupun gerakan eksternal. Misalnya: penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (the Convention for Elimination of all forms of Discrimination against Woman), Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Sosial di Kopenhagen pada tahun 1995, yang antara lain menyatakan perlunya terwujud Kesetaraan dan Keadilan Gender, UU no. 5/2000, UU Nomor 68 Tahun 1956 tentang Pelaksanaan Konvensi ILO Nomor 111, yaitu tentang “Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan”, tujuh esensi Pokok GBHN 1988 & 1993, UU Nomor 68 Tahun 1956 tentang pelaksanaan Konvensi PBB tentang “Hak Politik Perempuan” dan lain-lain. Namun belum berhasil sampai saat ini karena UU yang masih lemah, sehingga aparat penegak hukum dan keamanan tidak bisa bertindak tegas. UU APP (Undang- undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) sangat dinatikan oleh banyak elemen dan masyarakat umum. Jika zaman ini disaksikan oleh ibu RA. Kartini, maka beliau akan menangis melihat betapa menyedihkannya generasi muda saat ini terutama perempuan, terjadi eksploitasi seksualitas perempuan secara besar-besaran oleh kaum capitalis-liberal, yang telah mendobrak Budaya Timur menjadi budaya hedonist, nilai-nilai kepatutan berdasarkan agama, budaya, adat-istiadat dan pendidikan telah dihancurkan oleh mereka.

Para perempuan tidak lagi mengingat eksistensi dirinya sebagai makhluk yang diciptakan untuk mengabdi kepada sang Pencipta.Betapa buramnya kehidupan, terutama perempuan yang telah susah payah diperjuangkan oleh ibu RA. Kartini, agar boleh keluar dari rumah untuk sekolah, namun apa yang terjadi pada saat ini bukannya mencerdaskan para perempuan, tetapi semakin menipisnya nilai-nilai agama dan budaya timur, lalu yang terjadi dekadensi moral (kerusakan moral). Perempuan yang rusak moralnya akan melahirkan generasi yang rusak pula moranya, seperti pepatah mengatakan “ buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya” walaupun pepatah ini tidak 100% akan terjadi, karena ada pula anak yang lahir dari keluarga broken home namun anak-anaknya baik.

Emansipasi Wanita

Diskursus pemikiran RA Kartini, tidak akan bisa dilepaskan dari konsep feminisme yang muncul dari Barat. Konsep feminisme ini diadopsi ke dalam masyarakat Indonesia dengan nama emansipasi. Mendengar kata emansipasi tidak bisa dipisahkan dengan RA. Kartini adalah pelopor emansipasi dan feminisme. Lalu bagaimana sebetulnya perjuangan RA. Kartini? Dan apa yang diperjuangkannya? Apa benar Kartini adalah pengemban feminisme dan emansifasi seperti di Barat?
Meskipun feminisme adalah masalah tradisional dan usang, akan tetapi wacana feminisme tampaknya selalu menarik dan mengundang polemic berkepanjangan. Dalam perspektif histories, gerakan feminisme ini muncul dari Amerika sebagai bagian dari radical culture termasuk gerakan civil right dan sexual liberation.Dan setelah itu tumbuh berkembang kelompok “pejuang” feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan praktis seperti childcare, kesehatan, pendidikan, aborsi dan lain-lain. Perjuangan kaum feminis ini disahkan oleh PBB, sehingga konsekuensinya, Negara anggota PBB juga ikut memperjuangkannya. Akhirnya dengan lebih kuat gerakan ini menyebar ke seluruh penjuruh dunia sekaligus berkembang menjadi gerakan global dan mampu mengguncang dunia ketiga (DR. Mansour Pelajar Yogyakarta, hlm 117).

Pada hakikatnya gerakan feminisme adalah isu milik kaum perempuan kelas menengah ke atas (golongan elit) yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangganya di negeri-negeri Barat (terutama AS) pada tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1963 itulah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine Mystique. Dari sini mulailah isu persamaan kekuasaan dikampanyekan. Dikatakan bahwa peran domestik perempuan merupakan penindasan terhadap perempuan, dan pekerjaan rumah tangga adalah rendah dan tidak produktif, Keadaan sosial ekonomi, dan budaya juga memberikan suasana kondusif bagi gerakan feminisme, seperti budaya materialisme, liberalisme, dan individualisme membuat gerakan ini menjadi cukup berpengaruh.

Tema utama yang paling sering dibahas feminisme adalah seputar “Ketidaksejajaran” antara laki-laki dan perempuan, adanya penindasan perempuan di Barat dengan sitem kapitalis, penindasan menurut mereka adalah bermula dari struktur hirarki dalam keluarga, ayah, ibu dan anak. Ayah diibaratkan borjuis dan perempuan diibaratkan proletar, struktur ini akan menghasilkan eksploitasi pada perempuan (Friedrich Engels, The Origins of Family, Private Property and state, New York, International Publisher Company, 1970). Tema berikutnya adalah memperjuangkan kebebasan bagi perempuan, reformulasi pola relasi dan kuasa antara laki-laki dan perempuan, dan perjuangan persamaan hak antara keduanya secara mutlak atau dikenal dengan istilah Equal Rights Amandment (ERA).

Dilihat dari prototype perkembangannya, konsep feminisme terus berubah, baik itu pola gerakannya maupun cakupan operasionalnya. Dulu, di Amerika, gerakan feminisme difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak memilih (Right to Vote). Selanjutnya karena pengaruh ideology-ideologi yang ada di dunia, muncul berbagai aliran feminisme, seperti feminisme liberal, radikal, dan feminisme Marxis, feminisme lesbian (Charnie Guettel, 1974; 39-40, Marxism and Feminism, Toronto, The Women Press).
Dalam perkembangannya, gerakan feminis tidak berjalan mulus. Pro dan kontra selalu menyertai keberadaannya, bahkan di negeri di mana feminisne dicetuskan muncul penentang-penentang ide ini, sebut saja New Right Movement dengan koleganya seperti The National Right to Life Committee, Feminine Anti feminist League, Moral Majority dan lain-lain. Konsep feminisme tampaknya mengandung kontradiksi yang cukup membingungkan.

Sama halnya RUU APP menimbulkan pro kontra diantara pejuang perempuan (aktivis perempuan) di Indonesia, pihak yang kontra melihat bahwa “akan ada penekanan dan pembatasan gerakan perempuan dari aparat penegak hukum”, sehingga mereka menentang disahkannya RUU APP menjadi UU APP pada bulan juni 2006. Sedangkan yang pro, mengatakan bahwa RUU APP merupakan peraturan yang akan melindungi moralitas bangsa terutama generasi mudah yang merupakan generasi pelanjut yang akan memegang estafet kepemimpinan bangsa di masa yang akan datang. Kerusakan moral bangsa juga menjadi penyebab keterpurukan pendidikan, tujuan Pendidikan Nasional untuk mencerdaskan bangsa tidak bisa dicapai. Sehingga solusi untuk menyelesaikan krisis moral bangsa Indonesia harus ada UU yang mengatur mengenai pornografi dan fornoaksi yang marak di negeri ini agar keselamatan bangsa bisa terwujud dan kecerdasan generasi muda khususnya perempuan bisa tercapai seperti yang di harapkan oleh Ibu pelopor emansipasi wanita RA . Kartini, “kecerdasan perempuan sejajar dengan laki-laki”, agar perempuan dalam hidupnya dipandang sebagai subyek pembangunan.


Oleh; Marwani
Aktivis DPP IMM dan Aliansi Pemuda Penyelamat Generasi (APPG)

PERAN IBU DALAM MENGATASI..................

PERAN IBU DALAM MENGATASI KRISIS BANGSA*
Oleh: Marwani**

Pendahuluan

Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan kongres Perempuan pada tahun 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 (deretan nama Beliau ada di hal. akhir makalah ini). Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta bertempat di Dalem Joyodipuran yang kini di kenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), kongres berikutnya delapan tahun kemudian yakni pada tahun 1935 diselenggarakan Kongres Perempuan II di Semarang. Dalam kongres ini dilontarkan gagasan bahwa Kongres Perempuan I dinyatakan sebagai HARI IBU dan di kota Bandung tahun 1938 dilaksanakan Kongres Perempuan III, dalam kongres inilah ditetapkannya bahwa tanggal 22 Desember sebagai HARI IBU. Mengingat pentingnya arti peristiwa Hari Ibu, maka ditetapkanlah sebagai Hari Nasional (yang tidak Libur), dan dengan Keputusan Presiden RI . No. 316 tertanggal 16 Desember 1950. Karena Hari Ibu merupakan tonggak sejarah kebangkitan kaum wanita (ibu), dipakai sebagai hari untuk merenung kembali akan peran wanita sebagi istri, sebagai orang tua (ibu) dan sebagai anggota masyarakat (publik figur).

Peran Domestik.

a. Ibu Sebagai Istri

Seorang ibu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu keluarga, berstatus sebagai seorang pendamping dari suaminya. Sehingga mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga, namun terkadang atau bahkan sering terjadi kekerasan terhadapnya. Fakta memperlihatkan bahwa banyak ibu diperlakukan sebagai pelengkap penderita, di mana ia diperlakukan dan diposisikan pada second class dan bahkan dibiarkan tak berarti apa-apa di saat tertentu.Hal tersebut menjadi penyebab utama perempuan selalu berada pada posisi yang lemah karena tidak dipandang sebagai mitra kerja oleh laki-laki. Apakah itu dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat. Keretakan suatu keluarga banyak disebabkan oleh hilangnya sifat saling menghargai antara keduanya (suami – istri). Harmonisasi keluarga hilang yang pada akhirnya akan terjadi keretakan keluarga atau sampai pada perceraian. Secara psikilogi akan berdampak pada kinerja laki-laki (suami) di lingkungan kerjanya begitu pula di lingkungan masyarakat akan mendapat cemohan.Oleh karena itu potensi yang dimiliki masing-masing, tidak mampu menjadi sebuah kekuatan yang pada dasarnya bisa mengatasi krisis bangsa yang dimulai dari unit keluarga. Sadar atau tidak, kesuksesan unit keluarga sangat signifikan untuk mengatasi krisis bangsa. Dampak langsung yang bisa kita lihat, perempuan dan laki-laki (suami-istri) dapat bekerja dengan tenang, nyaman dan damai di tempat kerja masing-masing karena saling menjaga kepercayaan di antara keduanya. Titik kerawanan keluarga ada pada, "jika seorang ibu memiliki peran di luar rumah, apakah itu bawahan atau atasan di kantor atau menjadi perempuan pengusaha (business woman)," Pada kondisi ini akan timbul saling curiga yang ujung-ujungnya akan melemahkan semangat kerja di kantor dan tanggung jawab keluarga otomatis akan melemah pula, yang terjadi broken home. Anak-anak tidak diperhatikan lagi dan akan melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa kontrol dari kedua orang tua.Budaya patriarki tidak menciptakan demokratisasi keluarga, ada pihak yang sangat dominan melakukan penekanan terhadap pihak yang lain sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak terselesaikan secara demokratis. Tidak ada transparansi keluarga yang pada dasarnya hal tersebut tidak boleh muncul dalam satu keluarga. Malah tidak jarang ada keluarga saling menceritakan aib keluarga bukan pada tempatnya. Artinya bukan pada lembaga pembelaan (advokasi), atau konsultan (consultant) keluarga yang konsen pada penyelesain masalah keluarga. Jadi bukannya menyelesaikan tetapi semakin memperuncing masalah, “kerukunan dan kedamaian keluarga” semakin jauh atau tidak terjadi lagi.

b. Ibu Sebagai Orang Tua

Peran Ibu terhadap anak-anaknya di rumah sebagai pendidik dan pengayom pertama sebelum masuk pendidikan formal, yang sangat berarti dalam perkembangan dan pertumbuhan segala potensi anak. Seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan awal (basic education) yang benar yaitu pendidikan akhlak (moral education) dan pendidikan pengembangan potensi pikir dan kreativitas sejak dalam lingkungan keluarganya, maka anak tersebut akan cepat menyesuaikan kondisi diluar lingkungan keluarganya dan mampu melakukan penajaman dan pencerahan pemikiran secara cepat. Terlebih seorang anak yang dibekali pendidikan akhlak sejak kecil oleh orang tuanya terutama ibu yang banyak waktu bersamanya, anak tersebut tidak cepat terpengaruh dan terjerumus dalam pergaulan bebas yang kontroversial dengan ajaran Islam. Anak akan selalu teringat dengan pesan-pesan moral yang baik sepanjang hidupnya. Dekadensi moral yang dialami oleh seorang anak karena krisis moral, tidak mampu melakukam penyaringan budaya asing. Banyak anak-anak yang kita temukan secara materi tercukupi tetapi gersang dengan kasih sayang dan pendidikan moral. Sehingga batin mereka kosong, dengan mudahnya akan terisi dengan ajakan pergaulan bebas, pecandu narkotika dan putus sekolah karena tak ada lagi gairah belajar. Seorang anak akan bergerak sesuai dengan zamannya sehingga pendidikan akhlakul karimah sangat signifikan sebagai bekal melawan pengaruh negatif dari barat. Optimalisasi fungsi control orang tua, juga sangat diharapkan sampai anak-anak mampu mambawa dirinya dan tidak larut dalam kondisi secanggih apapun. Dengan demikian seorang ibu wajib memiliki kecukupan ilmu pengetahuan untuk dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan serta memberikan suri tauladan yang baik di hadapan anak-anaknya. Perilaku dan kebijakan seorang ibu sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan pengalamannya. Zaman dengan secepat mungkin dapat berubah sehingga menuntut seorang ibu yang tanggap dan cerdas dalam menuntun anak-anaknya, sehingga krisis moralitas bangsa dapat teratasi. Para remaja tidak lagi terjerumus dalam kehidupan yang glamor, tetapi mereka akan berkembang menjadi anak-anak yang cerdas dan kreatif serta taat dan patuh terhadap Sang Pencipta (Allah Swt).

c. Peran publik

Ibu sebagai publik figur, kita tidak bisa menghindar dari yang namanya masyarakat, seorang ibu merupakan bagian integral dari masyarakat (society), sangat penting baginya melakukan adaptasi terhadap keragaman kultur, etnis dan agama. Apapun alasannya, menjadi keharusan untuk dapat hidup rukun dan damai dalam sebuah masyarakat yang heterogen. Dalam menghadapai tantangan zaman yang sangat kompetitif diharapkan para ibu mampu bersatu menjalin tali persaudaraan yang kokoh agar tidak menjadi objek pembangunan yang sangat merugikan dirinya, menjadi pelengkap penderita pembangunan. Untuk menciptakan rana kehidupan yang kondusif, para ibu harus memiliki jiwa kepemimpinan dan ilmu pengetahuan (leadership and knowledge) yang mapan dan keteladanan yang patut diikuti. Jiwa kepemimpinan (leadership) minimal untuk dirinya dan keluarganya sebagai unit terkecil dari lingkungan masyarakat. Begitu juga keteladanan minimal untuk anak-anaknya. Dan yang sangat kita harapkan ibu yang punya kapasitas dan kredibilitas yang diakui untuk tampil di masyarakat baik itu dilingkungan kerjanya maupun di lingkungan tempat tinggalnya atau menjadi tokoh masyarakat. Banyak deretan nama tokoh atau pahlawan wanita Indonesia, pejuang abad ke-19 antara lain: M Christina Tiahahu, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkoyo Rasuna Said, R. A. Kartini, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, Nyai Ahmad Dahlan dll. Menjadi tanda tanya besar untuk era sekarang, maukah kaum ibu saat ini menyamai dan mewarisi semangat perjuangan beliau? Andaikan Ibu R.A. Kartini melihat kaum ibu saat ini, maka beliau akan menangis atas kegagalan cita-cita mulianya, “kebebasan (emansipasi) perempuan malah di salah artikan”. Banyak kaum perempuan telah mengecap pendidikan sehingga mampu menjadi publik figur di luar rumahnya, apakah itu ditempat kerja atau masyarakat tetapi ada yang terlupakan yaitu anak-anak mereka sebagai regenerasi, tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan akhlakul karimah yang cukup, akhirnya anak tumbuh menjadi anak yang gersang batinnya, terjauh dari nilai-nilai agama. Kemudian ada perempuan yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah sehingga mampu melakukan kreativitas seni, namun dengan mudahnya diajak mengikuti budaya yang bertentangan dengan nilai budaya ketimuran dan terlebih lagi norma-norma agama yang dianutnya yaitu Islam. Pornograpi dan pornoaksi masih kita lihat di media, korbannya adalah para perempuan yaitu anak dari seorang ibu, lalu pergaulan bebas anak-anak remaja/usia sekolah dan bahkan sampai anak-anak putus sekolah juga masih banyak (akibat dari didikan yang salah), kita dapat lihat di pinggir-pinggir jalan menjadi pengamen. Apakah makna cita-cita ibu R.A. Kartini tidak tersampaikan di telingah para ibu sampai hari ini. Sungguh sangat-sangat “menyedihkan dan memilukan hati”, sebenarnya lewat siapakah makna cita-cita ibu yang tercinta R.A. Kartini agar sampai di telinga kaum ibu, apakah lewat keluarga di rumah? Atau lewat bangku sekolah? Atau pemukah agama? atau Pemerintah? Atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)? Menurut hemat penulis, semua itu punya kewajiban menyampaikannya, karena betapa suci makna kebebasan perempuan memperoleh pendidikan di bangku sekolah, “tiada lain untuk memperbaiki citra diri, keluarga, masyarakat dan bangsa”. Indahnya harapan Ibu R.A.Kartini, “Kebebasan mendapat pendidikan”, akan tetapi sangat disayangkan nilai masyarakat terdidik ( educated society value) khususnya bagi perempuan, tidak nampak di seluruh Indonesia.

Penutup

Kebangkitan perempuan adalah harapan kebangkitan bangsa, yang sangat ditentukan oleh kesadaran para ibu terhadap perannya. Tanggung jawab seorang ibu hendaknya menjadi motivasi untuk “mengatasi krisis bangsa”. Dan tidak terkecuali kesuksesan ibu (perempuan) sangat ditentukan oleh peran seorang suami (laki-laki) yang menjadi mitra kerja yang solid dan sepadan dalam melangkah untuk mencapai tujuan keluarga.Krisis bangsa akan teratasi dengan suksesnya pembinaan keluarga sebagai miniatur kehidupan bangsa (lingkungan kehidupan yang terkecil dari bangsa). Gagasan ini mudah-mudahan menjadi referensi untuk menciptakan keluarga yang damai dan sejahtera dalam mengatasi krisis bangsa.posted by IMM BOGOR @ 07:10 0 comments Tuesday, November 15, 2005
* Makalah ini disampaikan pada diskusi PC IMM Bogor dalam rangka hari ibu
** Marwani, Mahasiswa Pascasarjana UHAMKA__________________________________________________

PARTAI POLITIK LOKAL .............................................

PARTAI POLITIK LOKAL
AKANKAH MENYERAP ASPIRASI MASYARAKAT LOKAL?
Penulis: Marwani
(Mahasiswi Magister Manajemen PPs UHAMKA)

Apa Bedanya Asosiasi Masyarakat Bersinergi dengan Partai Politik Nasional?
Potret Indonesia yang menantikan perubahan, dengan munculnya berbagai alternatif dari masyarakat namun perlu kajian yang mendalam karena tidak ada jaminan untuk mencapai kepuasan masyarakat terhadap perbaikan nasib bangsa Indonesia. Salah satu alternatif yaitu keinginan masyarakat lokal mendirikan Parpol (Partai Politik) Lokal dengan harapan aspirasi masyarakat lokal dapat diakomodir[1]. Keinginan tersebut, apakah ada hubunganya dengan kinerja anggota parlemen sebagai wakil rakyat? dalam artian “mewakili aspirasi masyarakat daerah pemilihan masing-masing”. Anggota Parlemen yang nota bene mendapat mandat secara langsung dari masyarakat lewat pemilu (pemilihan umum) maupun yang menyatakan secara asosiasi lewat statement asosiasi tertentu, namun realitasnya kebijakan yang diputuskan oleh anggota parlemen tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Fungsi parlemen sebagai regulator, kenapa bukan ini yang dipersoalkan oleh masyarakat? Karena tanpa kritis masyarakat terhadap fungsi parlemen yang tidak efektif dan efesien, maka anggota parlemen tidak merasa bersalah sehingga beban amanat untuk mengakomodir aspirasi masyarakat terlupakan begitu saja dan tanpa dosa politik. Atau ada kegembiraan dari para elit politik di senayan ketika issue partai politik lokal ini akan di bahas Undang-undangnya, karena masyarakat melupakan agenda pembangunan yang tinggal kurang lebih satu setengah (± 1 ½) tahun lagi. Pembangunan yang riil untuk kepentingan masyarakat terabaikan oleh persiapan pemilu, yang semestinya dibahas DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) oleh fraksi tertentu, institusi pemerintah tertentu dan lembaga independen KPU (Komisi Pemilihan Umum), tapi kelihatannya issue persiapan pemilu menjadi ajang kesibukan dari para elit politik sekarang ini, dampaknya sangat jelas dirasakan oleh masyarakat dengan kenaikan harga BBM dan sulitnya untuk mendapatkan BBM diberbagai tempat, begitu pula dengan harga kebutuhan pokok yang lain semakin melonjak.
Kemana para elit politik di parlemen? Apa yang dihasilkan dari research yang dilakukan setiap tiga bulan sekali? Apakah kinerja anggota parlemen tidak berkorelasi positif terhadap pembangunan, sehingga tidak terjadi efisien anggaran, tapi in-efesiensi. Betapa kompleksnya persoalan bangsa ini, sehingga para pejabat daerah (Bupati) se-Indonesia pun hanya tertidur dihadapan pertemuan dengan Presiden RI (Bp. Susilo Bambang Yudoyono), atau mereka tidak mau pusing-pusing berpikir lagi untuk kepentingan masyarakat. Yang seharusnya pada pertemuan tersebut mendengarkan harapan dari Presiden RI yang sisa masa jabatannya tinggal ± 1 ½ tahun lagi dan sekaligus menjadi evaluasi untuk perbaikan di masa yang akan datang, Walaupun seharusnya melakukan evaluasi adalah lembaga pengawas yang bersifat independen misalnya BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) yang sangat terkait dengan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Misalnya, badan pengawasan yang telah dibentuk oleh pemerintah,

BPKP inilah yang melaporkan kepada wakil presiden seberapa jauh tingkat keberhasilan realisasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), apakah sudah sesuai dengan rencana atau terjadi penyimpangan dari rencana APBN yang disalurkan kedaerah setiap tahun. Dengan demikian manajemen pengawasan berjalan lewat jalur formal yang memang berfungsi mengawasi dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pembangunan, sehingga ada kesinambungan informasi dari hasil research yang telah dilakukan oleh anggota DPR di daerah pemilihannya masing-masing. Dengan demikian Pemerintah dapat menyusun kebijakan berdasarkan informasi dari bawah dan DPR RI dapat memutuskan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Partai Politik Lokal tidak jauh berbeda dengan asosiasi petani, pedagang kaki lima (PKL), nelayan, sopir angkot, ormas (Organisasi Masyarakat) yang begitu banyak macamnya, Serikat Pekerja dan lain-lain. Jika Undang - undang Partai Politik Lokal itu ada, maka mereka itulah yang akan muncul sebagai partai politik lokal yang memperjuangkan aspirasi kelompoknya masing-masing. Padahal asosiasi di masyarakat telah memberikan statemen dukungan kepada satu partai atau calon pimpinan (Calon kepala negara, legislatif dan kepala daerah) dan itu dapat kita lihat pada saat menjelang Pemilu berlangsung. Jadi, penulis melihat solusi persoalan ini, yaitu hendaknya kesadaran para elit politik agar kembali bersuah dengan masyarakat daerah pemilihannya lalu mendengarkan aspirasi mereka, dan di parlemen memperkuat regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat bawah.
Revolusi Tandingan
Keinginan masyarakat mendirikan partai politik lokal di Indonesia di luar Propinsi Nangro Aceh Darussalam (ada kekhususan yaitu konflik yang berkepanjangan), ada kemiripan dengan kecendrungan teoritis baru, yang muncul pada tahun 1970-an, dan menempati posisi dominan sepanjang 1980-an, dengan tepat diistilahkan sebagai ”revolusi tandingan terjadinya revolusi tandingan dalam teori dan kebijakan pembangunan. Menurut Bjorn Hettne, bahwa:
Revolusi tandingan dalam teori dan praksis harus dipahami dengan latar belakang gelombang neoliberal anti-Keynesian yang umum di Barat dan munculnya ideologi pasar di Timur. Jadi revolusi tandingan merupakan bagian dari perubahan iklim politik yang mempengaruhi ekonomi maupun politik domestik di negara industri dan hubungan Erofa-Selatan.[2]
Partai Politik Lokal akan menjadi lembaga tandingan dari partai Nasional yang ujung-ujungnya menyatakan akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya, dalam artian perbaikan ekonomi masyarakat grass root sebagai pekerja riil yang tadinya mendukung partai nasionalis, namun tidak kesampaian aspirasinya di lembaga parlemen saat ini.
Masih pendapat Bjorn Hettne, mengatakan bahwa:
Pada tingkat yang lebih dalam, revolusi tandingan menentang dan menolak kompleks rasa bersalah Barat yang ada dibalik sosok ”Orang-orang Dunia Ketiga”, sangat khas dalam teori keterbelakangan baik yang reformis maupun radikal. Negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Sebagaimana dicatat oleh Toye, ”pandangan cemerlang pada 1980-an adalah pandangan terhadap dunia yang sedang mengembangkan sumber daya dan kemampuannya semata-mata sebagai jawaban terhadap naik-turunnya harga dan ketidakmampuan pemerintah” (Toye 1987a:viii). Revolusi tandingan menolak ”pembatasan hal khusus” dan menghendaki penyatuan teori maupun kebijakan, yakni penyatuan pendekatan ortodoks.[3]
Pandangan di atas, sangat identik dengan apa yang terjadi di Indonesia tercinta ini, harapan masyarakat kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Bjorn Hettne, bahwa tujuan mereka adalah memperbaiki keyakinan pada mekanisme pasar dan kebijakan perdagangan bebas, argumen mereka dalam menggambarkan kesalahan, distorsi, gaya hidup mewah, dan korupsi yang begitu jelas dalam pembangunan selama dua atau tiga dekade yang lalu.[4] Begitu pula di Indonesia ini, selama Orde Baru lalu datang era Reformasi, namun realitas pembangunan masih jauh dari harapan masyarakat. Mekanisme pasar yang semakin buruk dan regulasi yang masih simpang siur di mana-mana[5]
Ada keprihatinan yang lebih dibandingkan apa yang diungkapkan oleh Bjorn Hettne, yaitu negara miskin menjadi miskin karena kekeliruan manajemen. Berbeda dengan Negara Indonesia ini, negara kaya tapi miskin juga karena kekeliruan manajemen. Sehingga patut adanya jika masyarakat bawah bertanya: 1. Benarkah anggota parlemen menjalankan fungsinya sebagai regulator selama 3 ½ tahun yang lalu?
2. Dimana letak keadilan dalam sistem pemerintahan demokrasi bersembunyi? 3. Apakah mungkin ada alternatif lain sebagai solusi memparbaiki bangsa ini? Itulah yang memotivasi masyarakat untuk mendirikan Parpol Lokal.
Solusi alternatif dari sisa waktu masa kerja periode anggota parlemen saat ini, hendaknya dilakukan evaluasi terhadap manjemen pengawasan oleh yudikatif dari apa yang telah dikerjakan oleh legislatif bersama eksekutif. Agar ada upaya perbaikan nasib bangsa ke depan, sehingga dengan demikian masih ada secercah harapan kehidupan yang cemerlang.
[1] Wacana yang berkembang dalam Diskusi Publik di rumah PAN, tanggal 9 April 2008 dengan tema: “ Partai Politik Lokal Vs Partai Nasional”. Pembicara: Indra J. Piliang; Sayuti Asyathri; A. Farhan Hamid; Rainer Haufers dan KPU.

[[5] Regulasi yang masih simpang siur di mana-mana dijelaskan oleh Sayuti Asyathri (Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan ketua Badan Litbang DPP PAN) dalam Diskusi Publik di rumah PAN, tanggal 9 April 2008 dengan tema: “ Partai Politik Lokal Vs Partai Nasional”. Juga dijelaskan tentang pengawasan realisasi anggaran yang tidak jelas.

Thesis Wani: "Pengaruh Budgeting dan Controlling terhadap Fluktuasi Rasio Profitabilitas KUKM..."

Judul: "Pengaruh Budgeting dan Controlling terhadap Fluktuasi Rasio Profitabilitas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kementerian Koperasi dan UKM Periode 2001-2005".

A. Latar Belakang Masalah

Kondisi Pembangunan Nasional Indonesia yang belum stabil, dimana pertumbuhan ekonomi mikro belum mampu mengatasi multi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia, tingkat penggangguran dan kemiskinan yang masih tinggi. Prof. Samuelson, salah seorang ahli ekonomi yang terkemuka pada masa ini-yang menerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi pada tahun 1970, dikutip oleh Sadono Sukirno mengatakan bahwa: di dalam perekonomian, pemanfaatan faktor-faktor sumber daya yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat dalam menggerakkan sektor riil merupakan pilihan yang terbaik atau terefisien[1]. Strategi pembangunan dapat dipandang sebagai perencanaan eksplisit yang diterapkan suatu negara terhadap masalah peningkatan kesejahteraan rakyatnya dalam arti materiil, yang dikaitkan dengan sumberdaya manusia dan alam yang dipunyai, serta berkaitan dengan dunia internasional.[2]Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia tercatat 206,3 juta, dengan proporsi penduduk perempuan sekitar 49,7%[3]. Suatu jumlah yang cukup besar dan merupakan aset pembangunan bangsa, namun dalam kenyatannya kondisi dan posisi perempuan Indonesia masih tertinggal di berbagai bidang kehidupan dibanding laki-laki. Bidang kehidupan
[1] Sadono Sukirno, 1985. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Jakarta: LPFE-UI, hal. 4
[2] Mudrajad Kuncoro, 2000. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hal. 90.
[3] Deputi V Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Berita Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Diakses dari situs http: // http://www.menegpp.go.id/,
tersebut antara lain rata-rata tingkat pendidikan, derajat kesehatan, perlindungan hukum, tingkat pendapatan/ekonomi, keterwakilan di bidang politik, tindak kekerasan serta diskriminasi terhadap perempuan dan anak, masih Menjadi permasalahan yang cukup serius
Penduduk Indonesia bila dilihat dari jumlahnya menduduki posisi nomor 4 terbesar di dunia, namun kualitas dan kemampuannya masih relatif lebih rendah di banding negara maju, bahkan di antara negara-negara ASEAN. Human Development Indicator (HDI) Indonesia menunjukkan penurunan dari 0,682 (HDR 2003) menjadi 0,691 (HDR 2004). Kenaikan itulah yang menyebabkan Indonesia merubah posisinya dari urutan 112 menjadi urutan ke-111 (HDR 2004), dari 177 negara. Posisi HDI Indonesia jauh di bawah posisi negara ASEAN lainnya (Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Philipina. Posisi HDI Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam, Kamboja, dan Myanmar)[1].
Pada tanggal 21 Januari 2004 telah dilaksanakan Konferensi Nasional Pembangunan Berkelanjutan (KNPB) di Yogyakarta, sebagai tindak lanjut World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang menghasilkan 10 kesepakatan nasional dan rencana tindak pembangunan berkelanjutan dan disyahkan oleh Presiden RI, untuk menjadi dasar pelaksanaan semua pihak. Pada butir 10 dari kesepakatan KNPB tercantum “Mewujudkan komitmen ini dalam penyampaian rencana pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia yang harus bermanfaat bagi seluruh rakyat, khususnya kelompok-kelompok perempuan, pemuda, anak-anak dan kaum rentan” [2].
Boediono dalam bukunya, “Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia”, 2007, dikutip oleh Gunawan Sumodiningrat, bahwa
Dalam kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terdapat tiga fungsi yang terkait dengan Trilogi Pembangunan. Pertama, fungsi alokasi sumber-sumber ekonomi yang mencakup bantuan pemerintah berupa dana, sarana, dan prasarana. Kedua, fungsi distribusi melalui penyebaran kegiatan pembangunan dan hasilnya ke berbagai daerah. Ketiga, fungsi stabilisasi untuk menjaga keseimbangan internal dan eksternal demi menjamin keberlangsungan pembangunan.[3]
Tidak bisa dipungkiri bahwa terjadinya kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan di perlihatkan oleh masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarga. Selain itu, struktur hukum dan budaya hukum yang terdapat dalam masyarakat juga masih kurang mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, Keadaan ini antara lain ditandai masih rendahnya kesadaran gender di kalangan penegak hukum, sedikitnya jumlah penegak hukum yang menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi Perempuan, dan lemahnya mekanisme pemantauan dan evaluasi, terutama yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ini diperburuk pula oleh masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam
[1] Ibid., Periode 2004 - 2009
[2] Ibid., Periode 2004 - 2009
[3] Gunawan Sumodiningrat. 2007. Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta, hal. 32
kebijakan publik yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.[1]
Dalam sektor informal di mana 68,2% angkatan kerja perempuan berada, pilihan usaha perempuan pun sangat dipengaruhi oleh peranan gendernya. Misalnya kaum perempuan di sektor informal lebih banyak bergerak di bidang perdagangan bahan pangan dan dalam skala kecil. Keterbatasan modal dan akses terhadap sumber daya serta kurangnya hak kepemilikan merupakan faktor lain yang mempengaruhi usaha perempuan. Oleh karena itu perempuan sulit bersaing dalam mengembangkan usahanya.
Untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan dan memberdayakan masyarakat, pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan yang saling mendukung. Pertama, kebijakan yang tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya kondisi yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua, kebijakan yang langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga, kebijakan khusus yang mencakup upaya-upaya memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.
[1] Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Sejarah Ringkas Kelembagaan Pemberdayaan Perempuan & Kesejahteraan. Dan Perlindungan Anak. Diakses dari situs http: // http://www.menegpp.go.id/, ................................................................................................................
...............................................................................................................

C. Batasan Masalah
Mengingat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia didirikan sejak tahun 1978[1] sehingga harus menunjukkan kinerja yang semakin baik dan mampu menghadapi persoalan bangsa khususnya pada perempuan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa dengan baiknya tarap hidup perempuan itu menunjukkan peningkatan tarap hidup dalam keluarga khususnya dan bangsa Indonesia secara umum. Oleh karena itu Koperasi dan UKM perempuan menjadi bahan kajian dari penelitian ini. Sebuah organisasi yang mengelola bisnis baik lembaga yang menyalurkan dana maupun koperasi dan UKM yang mengelola usaha atau yang memproduksi barang. Untuk menganalisis seberapa besar pengaruh budgeting dan controlling terhadap fluktuasi rasio profitabilitas
[1] Kementerian Pemeberdayaan Perempuan, op. cit. Periode 2004 -2009.


TINJAUAN PUSTAKA

A. Budgeting dan Controlling

1. Definisi Budgeting
Secara umum anggaran dapat didefinisikan sebagai sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan suatu lembaga tertentu untuk kurun waktu tertentu (masa yang akan datang).
Apandi Nasehatun mengatakan bahwa: Budgeting atau anggaran merupakan semua rencana kegiatan (planning) yang dinyatakan dalam satuan ”uang”, selama satu periode tertentu, biasanya satu tahun[1].
Jika Anggaran berada dalam perencanaan negara maka dapat didefinisikan bahwa “suatu pernyataan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan, serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa kini dan masa lalu.” atau “anggaran adalah alat untuk mencapai tujuan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat/rakyat yang orientasinya tidak lain adalah ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.” Dari beberapa definisi di atas diperoleh subtansi yang sama, yaitu bahwa anggaran berhubungan dengan:
1. Kegiatan perencanaan
2. Pernyataan tentang penerimaan dan pendapatan
Lain lagi menurut M. Munandar, bahwa: budget merupakan hasil kerja (out-put) yang terutama berupa taksiran-taksiran yang akan dilaksanakan di waktu yang akan datang. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Budgeting ialah proses kegiatan yang menghasilkan budget tersebut sebagai hasil kerja (out-put), serta proses kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi budget, yaitu pedoman kerja, alat pengkoordinasian kerja dan alat pengawasan kerja.[2] Sedangkan Gunawan Adisaputro dan Marwan Asri mendefinisikan Budgeting adalah suatu pendekatan yang formal dan sistematis dari pada pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan pengawasan[3]. Dari definisi tersebut dapat diambil intinya yakni: Pertama, bersifat formal, artinya disusun dengan sengaja dan bersungguh-sungguh dalam bentuk tertulis. Kedua, bersifat sistematis, artinya disusun dengan berurutan dan berdasarkan suatu logika. Ketiga, suatu tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Keempat, pelaksana fungsi manajer dari segi perencanaan, koordinasi dan pengawasan.
Kelemahan-kelemahan Anggaran yaitu:
a. Karena anggaran disusun berdasarkan estimasi (jika dalam perusahaan yang dimaksudkan yaitu potensi penjualan, kapasitas produksi dan lain-lain) maka terlaksananya dengan baik kegiatan-kegiatan tergantung pada ketepatan estimasi tersebut.
b. Anggaran hanya merupakan rencana, dan rencana tersebut baru berhasil apabila dilaksanakan sungguh-sungguh.
c. Anggaran hanya merupakan suatu alat yang dipergunakan untuk membantu manajer/top leader dalam melaksanakan tugasnya, bukan menggantikannya.
d. Kondisi yang terjadi tidak selalu seratus persen sama dengan yang diramalkan sebelumnya, karena itu anggaran perlu memiliki sifat yang luwes.

2. Definisi Controlling

Control menurut kamus The New Oxford Illustrated Dictionary mempunyai arti sebagai berikut.
1. Controlling function or power of directing and regulating (fungsi pengendalian dan pengaturan).
2. Restraint; check; standard of comparison for chaking inferences from Experiment, etc. (pembatasan, pemeriksaan, standar pembanding).
3. Controller (Pengawas/pemeriksa).
Menurut Mufham Al-Amin mengatakan bahwa: dalam pengertian yang sederhana Controlling (pengawasan) dapat didefinisikan sebagai kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, halaman 68, seperti yang dikutif oleh Mufham Al-Amin, bahwa: pengawasan berasal dari kata ”awas”. Kata awas merupakan kata kerja yang berarti mengamat-amati dan menjaga baik-baik. Maka secara harfia kata pengawasan mempunyai arti segala sesuatu yang berkaitan dengan proses penjagaan dan pengarahan yang dilakukan secara sunggu-sunggu agar objek yang diawasi dapat berjalan semestinya. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 19 tahun 1996, juga dikutip oleh Mufham Al-Amin, dikatakan bahwa: pengawasan adalah seluruh proses objek atau kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang berlaku.[4]
Pengawasan dapat diartikan pula, sebagai atau identik dengan pemeriksaan atau audit. Menurut Mufham Al-Amin bahwa: audit adalah suatu proses kegiatan yang bertujuan untuk meyakinkan tingkat kesesuaian antara suatu kondisi dengan kriterianya yang dilakukan oleh auditor yang kompeten dan independen dengan mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti pendukungnya secara sistematis, analitis, kritis, dan selektif guna memberikan kesimpulan atau pendapat dan rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[5]
Controlling dapat diartikan juga sebagai pengendalian. James A. F. Stoner dan R. Edward Freeman menjelaskan mengenai pengendalian manajemen adalah proses yang memastikan bahwa aktivitas aktual sesuai dengan aktivitas yang direncanakan.[6]
Menurut Apandi Nasehatun memberikan pengertian, bahwa:
Secara konseptual, pengertian budget & control dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Budget & control sebagai alat manajemen merupakan suatu perencanaan dan pengendalian terpadu yang dilaksanakan dengan tujuan agar perencanaan dan pengendalian itu betul-betul mempunyai daya guna dan hasil guna, untuk mencapai produktivitas, efisiensi dan profit margin yang tinggi bagi perusahaan.
b. Budget & control sebagai sistem manajemen merupakan suatu kegiatan perencanaan dan pengendalian terintegrasi dan terkoordinasi yang pelaksanaannya mengacu kepada sistem dan produser, peraturan, kebijakan dan norma-norma lain yang berlaku diperusahaan.
c. Budget dan control sebagai konsep manajemen merupakan bagian dari prinsip-prinsip manajemen yang baku dan fundamental, serta merupakan prinsip-prinsip dasar manajemen, yaitu planning, organizing, coordinating, dan controlling.[7]

Masih Apandi Nasehatun mengatakan bahwa: Budget dan control merupakan suatu rencana yang dibuat dan dilaksanakan dengan pengendalian, pengarahan dan pengawasan berdasarkan peraturan/ketentuan yang ada, demi mencapai hasil/sasaran/goal sesuai rencana. Di sini terlihat aktivitas budgeting dan aktivitas controlling merupakan dua kegiatan yang berbeda, namun berjalan ke arah satu tujuan yang sama, yaitu sasaran yang ditetapkan. Keduanya saling menunjang, melengkapi, dan saling ada ketergantungan antara satu dengan yang lain sehingga merupakan satu kesatuan yang terpadu. Keduanya baru mempunyai arti, manfaat atau nilai yang konkret jika disatupadukan sebagai suatu sistem. Dengan kata lain, budgeting & Control bagaikan dua sisi dari satu mata uang, yang hanya mempunyai ”nilai” jika kedua sisi itu merupakan satu kesatuan. [8]
[1] Apandi Nasehatun, 1999. Budget & Control: Sistem Perencanaan dan Pengendalian Terpadu Konsep dan Penerapannya. Jakarta: Grasindo, hal: 7
[2] M. Munandar. 1992. Budgeting: Perencanaan kerja, Pengkoordinasian Kerja, dan Pengawasan Kerja. Yogyakarta: BPFE, hal. 16
[3] Gunawan Adisaputro dan Marwan Asri. 2004. Anggaran Perusahaan. Yogyakarta: BPFE, buku 1, edisi 2003/2004, hal. 6
[4] Mufham Al-Amin, 2006. Manajemen Pengawasan: Refleksi dan Kesaksian Seorang Auditor. Jakarta: Kalam Indonesia, hal. 47
[5] Ibid., hal. 48
[6] James A. F. Stoner dan R. Edward Freeman. 1994. Manajemen. Jakarta, jilid 2, hal. 241.
[7] Apandi Nasehatun, op. cit., hal. 4
[8] Ibid, hal. 7-8
.........................................................................................................
..........................................................................................................
......................................................................................................
Catatan : Thesis ini akan fokus berbicara tentang Koperasi dan UKM Responsif Gender


DAFTAR PUSTAKA

Aida Vitalaya S. Hubies, SC. Utami Munanda, (et al). 1998. Wacana Perempuan dalam ke Indonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: PT. Pustaka CIDESINDO.

Amin widjaja tunggal. 2007. Komite Audit: Konsep dan Kasus. Jakarta: Harvarindo.

Anne Dickson. 2001. Women at Work: Strategies for Survival and Success. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Apandi Nasehatun. 1999. Budget & Control: Sistem Perencanaan dan Pengendalian Terpadu Konsep dan Penerapannya. Jakarta: Grasindo.

Bjorn Hettne. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta: PT. SUN.

Burhan Nurgiyantoro, Gunawan. 2000. Statistik Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Darsono dan Ashari. 2004. Pedoman Memahami Laporan Keuangan. Jakarta: ANDI

Gunawan Adisaputro dan Marwan Asri. 2003. Anggaran Perusahaan. Yogyakarta: BPFE.

Gunawan Sumodiningrat. 2007. Pemberdayaan Sosial. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Husein Umar. 2007. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

James O. Gill & Moira Chatton. 2006. Memahami Laporan Keuangan. Jakarta: PPM.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2003. Pengembangan Usaha KSP/USP Koperasi dan Serifikasi Tanah. Jakarta

Masri Singaribun, Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES.

M. Munandar. 1992. Budgeting: Perencanaan, Pengkoordinasian kerja, Pengawasan Kerja.. Yogyakarta: BPFE.

Moh. Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia..

Mudrajad Kuncoro. 2000. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Mufham Al-Amin. 2006. Manajemen Pengawasan: Refleksi dan Kesaksian Seorang Auditor. Jakarta: Kalam Indonesia.

Muhammad Firdaus dan agus Edhi Susanto. 2002. Perkoperasian sejarah, teori, & Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Peni R. Pramono. 2007. Membedah Laporan Keuangan Sangat Mudah. Jakarta:PT. Gramedia Indonesia.

Pudji Nurutani. 1985. Manajemen Keuangan Usaha Kecil. Salatiga: Satya wacana.

Said Kelana Asnawi dan Chanda Wijaya. 2006. Metodologi Penelitian Keuangan: Prosedur, Ide dan Kontrol. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soetrisno Bachir. 2005. Membangun Kemandirian Bangsa. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Sofyan Saad. 2003. Pedoman Penulisan Tesis PPs UHAMKA. Jakarta: PPs UHAMKA.

Sofyan Syafri Harahap. 2007. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti. 2004. Dasar-Dasar Manjemen Keuangan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Sudarman Darmin. 2005. Metode Penelitian Perilaku. Jakarta: Bina Aksara.

Sudarsono dan Edilius. 2005. Koperasi Dalam teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Syamsuddin Mahmud. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi dan Koperasi. Jakarta: PT. Intermasa.

Terry Dickey. 2007. Cara muda & Cepat Menyusun Anggaran Usaha Anda. Jakarta: PPM

T. Hani Handoko. 1984. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta: BPFE.

Tiktik Sartika Partomo dan Abd. Rachman Soejoedono. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi. Bogor Selatan: Ghalia Indonesia.

William F., Sharpe Gordon J. Alexander, (et al.). 1999. Investasi, terjemahan Henry Njooliangtik, Jakarta: Dadi Kayana Abadi.Jilid 1

Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Sejarah Ringkas Kelembagaan Pemberdayaan Perempuan & Kesejahteraan Dan Perlindungan Anak. Diakses dari situs http: // http://www.menegpp.go.id/,

Berita Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Diakses dari situs http: // http://www.menegpp.go.id/,

2005. Potensi Keterlibatan Kaum Perempuan Indonesia di Bidang Ekonomi. Diakses dari situs http: // http://www.menegpp.go.id/,

MENJELANG PEMILU 2009: QOU VADIS SUARA PEREMPUAN?

MENJELANG PEMILU 2009: QOU VADIS SUARA PEREMPUAN?

Penulis : Marwani, ST
(Mahasiswa Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA)

PENDAHULUAN
Ketika gelombang demokrasi melanda dunia di awal abad ke 19, pembicaraan mengenai perluasan keterlibatan rakyat dalam proses politik semakin penting. Apalagi setelah bubarnya salah satu negara adidaya yaitu Uni Soviet, yang diikuti dengan tercerai berainya persekutuan negara – negara blok Timur, posisi rakyat dalam ikut menentukan kepemimpinan politik kembali mendapat perhatian.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.
Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system atau mekanisme dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.


SYARAT PEMILU DEMOKRATIS

Disepakati bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi untuk membentuk kepemimpinan negara. Dua cabang kekuasaan negara yang penting, yaitu lembaga perwakilan rakyat ( badan legislatif) dan pemerintah (badan eksekutif), umumnya dibentuk melalui pemilu. Walau pemilu merupakan sarana demokrasi, tetapi belum tentu mekanisme penyelenggaraannya pun demokratis.
Sebuah pemilu yang demokratis memiliki beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, artinya peserta pemilu baik partai politik maupun calon perseorangan harus bebas dan otonom. Baik partai politik yang sedang berkuasa, maupun partai-partai oposisi memperoleh hak – hak politik yang sama dan dijamin oleh undang – undang (UU), seperti kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berserikat.
Syarat kompetitif juga menyangkut perlakuan yang sama dalam menggunakan sarana dan prasarana publik, dalam melakukan kampanye, yang diatur dalam UU. Misalnya stasiun televisi milik negara harus memberikan kesempatan yang besar pada partai politik yang berkuasa, sementara kesempatan yang sama tidak diberikan pada partai-partai peserta pemilu lainnya
Kedua, pemilu harus diselenggarakan secara berkala. Artinya pemilihan harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Misalnya setiap empat, lima, atau tujuh tahun sekali. Pemilihan berkala merupakan mekanisme sirkulasi elit, dimana pejabat yang terpilih bertanggung jawab pada pemilihnya dan memperbaharui mandat yang diterimanya pada pemilu sebelumnya. Pemilih dapat kembali memilih pejabat yang bersangkutan jika merasa puas dengan kerja selama masa jabatannya. Tetapi dapat pula menggantinya dengan kandidat lain yang dianggap lebih mampu, lebih bertanggung jawab, lebih mewakili kepemimpinan, suara atau aspirasi dari pemilih bersangkutan. Selain itu dengan pemilihan berkala maka kandidat perseorangan atau kelompok yang kalah dapat memperbaiki dan mempersiapkan diri lagi untuk bersaing dalam pemilu berikut. Ketiga, pemilu haruslah inklusif. Artinya semua kelompok masyarakat baik kelompok ras, suku, jenis kelamin, penyandang cacat, lokalisasi, aliran ideologis, pengungsi dan sebagainya harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu kelompok pun yang didiskriminasi oleh proses maupun hasil pemilu. Hal ini diharapkan akan tercermin dalam hasil pemilu yang menggambarkan keanekaragaman dan perbedaan – perbedaan di masyarakat.
Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak dibawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Keterbatasan memperoleh informasi membuat pemilih tidak memiliki dasar pertimbangan yang cukup dalam menetukan pilihannya. Suara pemilih adalah kontrak yang (minimal) berusia sekali dalam periode pemilu (bisa empat, lima, atau tujuh tahun). Sekali memilih, pemilih akan ”teken kontrak” dengan partai atau orang yang dipilihnya dalam satuperiode tersebut. Maka agar suara pemilih dapat diberikan secara baik, keleluasaan memperoleh informasi harus benar-benar dijamin.
Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Penyelenggaraan pemilu sebagian besar adalah kerja teknis. Seperti penentuan peserta pemilu, Pembuatan kertas suara, kotak suara, pengiriman hasilpemungutan suara pada panitia nasional, penghitungan suara, pembagian cursi dan sebagainya. Kerja teknis tersebut dikoordinasi oleh sebuah panitia penyelenggara pemilu. Maka keberadaan panitia penyelenggara pemilu yang tidak memihak, independen, dan profesional Sangay menentukan jalannya proses pemilu yang demokratis. Jika penyelenggara merupakan bagian dari partai politik yang berkuasa, atau berasal dari partai politik peserta pemilu, maka azas ketidakberpihakan tidak terpenuhi. Otomatis nilai pemilu yang demokratis juga tidak terpenuhi.

PEMILU DI INDONESIA
Pengalaman rakyat Indonesia dengan pemilu sudah berusia lebih setengah abad. Pemilu pertama di awal kemerdekaan pada tahun 1955 tercatat dalam sejarah sebagai pemilu multipartai yang demokratis. Peserta pemilu terdiri dari partai politik dan perseorangan, serta diikuti lebih dari 30 kontestan. Hasil pemilu 1955 memberikan cetak biru bagi konfigurasi pengelompokan politik masyarakat yang tercermin dalam konfiguarsi elit. Setelah pemilu 1955, pemilu berikutnya terjadi di era Orde Baru. Kelebihan pemilu-pemilu orde baru keberkalaannya. Penguasa orde baru berhasil menyelenggarakan pemilu secara teratur tiap lima tahun sekali. Tetapi kelemahan mendasarnya adalah pemilu-pemilu orde baru diselenggarakan dengan tidak memenuhi persyaratan sebuah pemilu yang demokratis. Harus diakui bahwa bpartisipasi politik rakyat dalam mengikuti pemilu-pemilu Orde Baru sangat fantastis. Rata-rata pemilu – pemilu orde baru diikuti oleh lebih dari 80 % pemilih, bahkan nyaris mendekati 90 % pemilih. Sebuah tingkat partisipasi politik yang tidak dijumpai di negaran kampiun demokrasi seperti inggris dan Amerika Serikat. Namun aturan penyelenggaraan pemilu-pemilu tersebut memiliki cacat kronis.
Pertama, tidak ada kompetisi yang sehat dan adil diantara peserta pemilu. Hal itu dilihat dari adanya undang – undang yang membatasi jumlah partai peserta pemilu, yaitu hanya diikuti oleh 3 partai politik. Selain ketiga partai politik tersebut tidak boleh ikut pemilu, bahkan tidak boleh ada partai politik yang terbentuk selain ketiga partai tersebut. (PPP, Golongan Karya, PDIP).
Kedua, tidak ada kebebasan dan keleluasaan bagi pemilih untuk mempertimbangkan dan menentukan pilihan-pilihannya. Secara sistematis, penguasa orde baru menggunakan jalur birokrasi untuk memenangkan pemilu. Bahkan pada pemilu 1971, Menteri Dalam Negeri ketika itu sempat membuat edaran agar pegawai negeri memiliki loyalitas tunggal hanya pada pemerintah, yang diterjemahkan sebagai loyal pada partai penguasa. Pegawai negeri dilarang terlibat dalam partai politik, tetapi tidak dilarang jika terlibat dalam partai penguasa saat itu.
Ketiga, penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas ketidakberpihakan penyelenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. Dengan demikian besar peluang untuk terjadinya kecurangan dalam mekanisme teknis pemilu, yang tentu saja merugikan peserta pemilu lainnya (selain partai berkuasa). Sehingga syarat kompetitif yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.



PEMILU MASA TRANSISI
Setelah berakhirnya secara formal kekuasaan Orde Baru, Indonesia memasuki periode peralihan dari situasi otoriter ke transisi demokrasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa periode transisi demokrasi umumnya memakan waktu lama, sampai satu atau dua dekade tergantung dari intensitas transisi yang berakibat pada perubahan mendasar dalam sistem politik dan juga sistem ekonomi. Tak terkecuali bagi Indonesia.
Perubahan itu diawali dengan penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme demokratis untuk melakukan sirkulasi elit. Pejabat lama yang tidak dipercaya perlu diganti dengan pejabat baru yang dapat lebih dipercaya dan accountable melalui pemilu yang demokratis. Pemilu yang dilaksanakan pada masa transisi adalah pemilu yang strategis karena merupakan sarana untuk membersihkan elemen otoriterisme dalam kekuasaan secara evolutif. Pemilu masa transisi juga menjadi sarana bagi pemikiran – pemikiran, gagasan – gagasan atau kader – kader baru yang segar dan tidak koruptif ke dalam lingkar kekuasaan. Jika pemilu masa transisi berhasil melembagakan proses sirkulasi elit secara demokratis, maka situasi transisi akan berubah menuju konsolidasi demokrasi. Sementara jika tidak berhasil, maka ada peluang besar bagi elemen otoriterisme untuk menkonsolidasi diri dan menunggu kesempatan untuk berkiprah kembali dalam pentas politik.
Oleh karena itu, mengingat arti penting pemilu pada masa transisi, terutama pemilu 2004 yang lalu, maka semua penggerak demokrasi serta warga yang peduli akan tercapainya konsolidasi demokrasi di Indonesia, perlu meneguhkan komitmen untuk menjaga Pemilu 2004 agar dapat menjadi batu loncatan ke arah pemilu selanjutnya yang diharapkan lebih demokratis. Walaupun diakui pula bahwa perangkat UU Pemilu, Partai Politik dan aturan pemilu lainnya yang dihasilkan DPR masih belum sempurna dan mengandung sejumlah permasalahan. Sebaliknya, tanpa keberhasilan mengawal Pemilu 2004, maka sulit mengharapkan pemilu selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi terjadinya sirkulasi elit dan pelembagaan demokrasi.



PENCALONAN PEREMPUAN
Pemilu 2004 memiliki arti strategis pula bagi upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam lembaga legislatif. Hal itu dimungkinkan dengan adanya aturan pasal 65 ayat 1 UU No. 12 / 2003 yang menyebutkan partai politik dapat mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekurang – kurangnya 30 % dalam pencalonan legislatif. Ini merupakan langkah awal bagi upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik.
Fenomena kurangnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik telah berlangsung lama. Sejak pemilu-pemilu Orde Baru, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR rata-rata hanya berkisar 7 – 12 persen. Atau sekitar 20 – 30 orang dari 500 orang anggota DPR. Suatu jumlah yang sangat tidak memadai jika dilihat dari perspektif perlunya mengedepankan pengalaman bersama – laki-laki dan perempuan – dalam proses pengambilan kebijakan politik. Maka adanya aturan keterwakilan perempuan dalam pencalonan ini layak disikapi dengan positif.
Namun sikap positif saja ternyata tidak cukup. Bunyi pasal 65 : 1 UU No. 12/2003 tidak secara imperatif meminta partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30 % pencalonan. Kata ”dapat” mengandung arti himbauan bukan bahasa hukum yang bersifat memaksa. Hal inilah yang perlu disikapi secara cermat oleh siapa pun yang memiliki perhatian dalam menciptakan proses demokrasi yang berkeadilan gender.
Keterlibatan aktif perempuan dalam kanca politik bukanlah suatu hal yang berlebihan, dan bisa mengancam para politisi laki-laki (baca: kekuasaan). Tetapi merupakan suatu kewajaran dalam kerangka hak asasi manusia karena keterlibatan perempuan dalam politik adalah hak politik warga negara. Bukan semata – mata dilihat dari soal jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki –laki (52 %). Tetapi merupakan HAK yang patut diberikan.
Persoalan kenapa perlu kuota 30 %. Apakah tidak dapat diberikan saja peluang yang luas kepada siapapun - laki-laki dan perempuan – untuk berkompetisi secara bebas, dan biarkan memilih yang akan menentukan siapa yang capable. Persoalannya bukan terletak pada sekedar memberikan peluang dan kesempatan yang sama, tetapi juga suatu tindakan affirmatif karena titik awal keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam rana publik tidaklah sama. Kemampuan perempuan yang dibangun dari kondisi sosial, tingkat pendidikan, pengalaman berinteraksi sosial, membangun jaringan, membangun basis massa, sampai dukungan dana, jauh tertinggal dari laki-laki yang antara lain disebabkan oleh pengaruh kultur dan adat istiadat. Laki-laki umumnya lebih diutamakan untuk berkipra dalam kehidupan publik. Disinilah makna perlunya tindakan afirmatif dengan memberikan dorongan nyata serta komitmen politik bagi perempuan untuk mengejar titik awal yang tidak sama tersebut.
Tindakan afirmatif 30 % inipun hanya dalam pencalonan, bukan dalam kuota alokasi kursi dilembaga perwakilan. Pemahaman yang seringkali disalah artikan oleh masyarakat. Dipahami bahwa perempuan meminta jatah 30 % kursi di DPR, tanpa melakukan perjuangan apapun. Sehingga muncul kontroversi ditengah masyarakat dan pandangan negatif pun bermunculan. Perempuan yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif juga harus berjuang untuk memenangkan pemilihan, bukan hanya duduk diam lalu mendapatkan ”berkah” kursi.
Namun di lain pihak, partai politik pun diminta memberikan komitmennya untuk terwujudnya peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif ( saat periode 1999 – 2004 hanya 8 % perempuan di DPR), dengan menempatkan perempuan pada urutan yang strategis sehingga kemungkinan terpilih besar. Harus ada timbal balik yang saling menguntungkan antara partai dan caleg perempuan. Partai harus membuka diri terhadap munculnya para calon perempuan yang berkualitas dan mampu memenangkan pemilu. Jangan lagi praktek-praktek penetapan nomor urut caleg dalam daftar calon tetap lebih dikendalikan oleh kepentingan kekuasaan semata serta adanya politik uang. Dengan demikian diharapkan peningkatan keterwakilan perempuan dapat terwujud melalui pemilu 2004. dan pemilu-pemilu di masa mendatang.

PERSIAPAN PEREMPUAN PADA PEMILU 2009
Perempuan dalam pemilu 2009, suaranya akan diperebutkan, baik oleh caleg laki-laki maupun caleg perempuan itu sendiri. Issue suara perempuan akan menjadi alot dalam menghadapi pemilu 2009, dan masih menjadi tanda tanya besar, apakah kuota 30% caleg perempuan akan tertutupi di setiap partai politik (parpol) dengan ketersediaan SDM yang berminat dan berbakat menjadi aktivis parpol? Oleh karena itu, untuk menghadapi pemilu 2009 yang terpenting bahwa keberpihakan pada kepentingan perempuan perlu di perjuangankan sampai perempuan bisa mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia.

Senin, 25 Mei 2009

RUU ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI: IKHTIAR PERBAIKAN MORAL GENERASI

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) bukanlah bentuk diskriminasi
melalui seksualitas perempuan, juga bukan melunturkan nilai-nilai
budaya asli (lokal) Indonesia, serta bukan pelanggaran HAM, tetapi
melainkan ikhtiar (upaya) penyelamatan moral generasi mudah
Indonesia. Siapapun orangnya, apapun agamanya, dari suku manapun
pasti ingin menyelamatkan generasi muda, karena generasi muda
merupakan pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Perbaikan bangsa
5 – 30 tahun ke depan sangat ditentukan oleh generasi muda hari ini,
jika kita tidak berinisiatif memperbaiki dan melindungi moralnya,
sudah pasti pemimpin yang akan datang adalah orang-orang yang pernah
atau bahkan masih mengalami dekadensi moral.

Ada kekhawatiran dari beberapa elemen masyarakat, bahwa RUU APP
akan mematikan Pariwisata di Indonesia utamanya di daerah Bali,
sehingga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang
dampaknya semakin menambah beban ksengsaraan masyarakat. Namun telah
dibantah oleh Bapak wakil Presiden M. Yusuf Kalla, bahwa RUU APP
tidak akan mematikan pariwisata (Republika, Selasa 23 Maret 2006).
Saya pikir, kekhawatiran dari elemen yang kontra terhadap RUU APP,
wajar – wajar saja karena adanya keprihatinan terhadap persoalan
bangsa yang dipandang sangat mendesak harus diselesaikan yaitu
semakin tingginya tingkat pengangguran usia kerja, anak-anak yang
mengalami gizi buruk hingga meninggal, mahalnya harga bahan bakar
minyak (BBM), mahalnya biaya pengobatan, mahalnya biaya pendidikan,
rencana kenaikan harga listrik dan air bersih, kerusakan lingkungan,
pemutusan hubungan kerja, korupsi, politik ekonomi yang mewarnai
liberalisasi perdagangan di Indonesia yang mengancam industri dalam
negeri, produk pertanian, peternakan dan nelayan, ancama
disintegrasi Pemerintah Aceh (PA) dan lain - lain.

Deretan persoalan di atas dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat
terutama kaum perempuan karena itu. Namun kita semua harus melihat
akar persoalan tersebut dengan analisis yang tajam berdasarkan
penyebab terjadinya fenomena sosial tersebut, yaitu karena
politisasi ekonomi yang dilakukan oleh kelompok pelaku ekonomi
global, dimana tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya masih
rendah, sehingga pengetahuan dan untuk terlibat dalam perkembangan
ekonomi nasional dan globalisasi ekonomi dunia sangat tidak
memungkinkan, sehingga masyarakat pada umumnya hanya tergilas oleh
arus neo modernisasi. Dunia informatika semakin canggih dan sudah
menjangkau pelosok-pelosok desa yang efeknya bukannya mendukung
peningkatan kualitas pendidikan, tetapi merapuhkan nilai-nilai
kepatutan dalam masyarakat dan merusak moral generasi muda. Hanya
membentuk watak generasi yang tidak mampu berkarya dalam negerinya
sendiri, apalagi berkompetisi dalam pasar bebas dan efeknya bahkan
mematikan kreativitas generasi muda sehingga menganut budaya serba
instant, tidak mampu menciptakan karya-karya baru yang mampu
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Siapapun orangnya, dari
elemen manapun pasti khawatir dengan kondisi globalisasi yang tidak
tidak diikat oleh regulasi.

Oleh karena itu berdasarkan analisis di atas maka penyelamatan moral
generasi menjadi prioritas utama. Dan bangsa Indonesia harus sadar
jikalau generasi muda saat ini menjadi tumpuan dan harapan kita
semua, agar mereka mampu memperbaiki bangsa ini 5 – 30 tahun ke
depan. Dan bahkan berharap agar generasi selanjutnya semakin mampu
berkompetisi dalam era globalisasi yang akan membawa bangsa
Indonesia yang besar ini sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
RUU APP setelah menjadi UU merupakan harapan yang dinantikan oleh
masyarakat sebagai regulasi yang akan memproteksi (melindungi) moral
generasi muda dan sebagai landasan berpijak secara legal formal bila
terjadi pelanggaran. masyarakat yang tergabung dalam berbagai elemen
sangat intens dan serius melakukan kajian tentang RUU APP tersebut
yang disorot dari berbagai sudut pandang seperti: pendidikan,
perlindungan media, budaya lokal, pariwisata, gender mainstream dan
hukum serta berdasarkan perspektif ajaran agama masing-masing.
Upaya tersebut tiada lain untuk mencapai kata akhir penyamaan
persepsi dari masyarakat bangsa Indonesia yang plural ini
berdasarkan suku, agama, budaya, bahasa, adat-istiadat dll, untuk
melahirkan satu kata kunci penyelamatan moral generasi muda,
terciptanya generasi yang memegang nilai-nilai kepatutan dalam
masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M. Pd. bahwa nilai – nilai
kepatutan, tolak ukurnya adalah agama, adat – istiadat, tata krama
dan kebiasaan kesantunan manusia, dikemukakan dalam seminar yang
diadakan oleh Kaukus Perempuan Parlemen tanggal 23 Maret 2006 di
Gdg. DPR RI dengan tema, "Menyorot RUU Pornografi dan Pornoaksi
dari sisi media".

Penyelamatan moral generasi menjadi sangat urgen (penting) untuk
menciptakan generasi yang berkepribadian sesuai dengan nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Untuk itu agar RUU APP dapat disahkan
bulan juni 2006 sesuai dengan jadwal yang telah ditargetkan oleh
Komisi VIII DPR RI.

Oleh: Marwani
Aktivis DPP IMM dan Aliansi Pemuda Penyelamat Generasi (APPG)

Minggu, 24 Mei 2009

Perenungan dan Penjiwaan Hari Kartini

Hari Kartini yang jatuh pada hari Selasa, 21 April 2009, mudah – mudahan dapat membawa inspirasi bagi perempuan-perempuan Indonesia. Kartini patut menjadi contoh buat kita perempuan Indonesia masa sekarang, karena jiwa perjuangan yang beliau miliki kita harapkan agar senantiasa tercermin pula pada generasi muda saat ini. Gerakan perempuan telah cukup melelahkan, namun harapan untuk perbaikan nasib perempuan masih sangat memprihatinkan.

Pelecehan seksual masih merajalela di mana-mana, korban trafficking, pecandu narkotika, dll. Akan kemana bangsa ini jika kita tidak arahkan secepatnya, dadah kita sesak melihat fenomena yang terjadi pasca golnya undang-undang pornografi dan fornoaksi. Moralitas generasi muda Indonesia bukannya semakin baik dan bisa membendung kejahatan bagi perempuan, malah semakin bertambah parah, anak-anak yang ada dipelosok desa pun sangat mudah mendapat informasi berbagai macam gaya hidup akibat dari perkembangan media elektronik atau TV dan berbagai jenis majalah dan VCD porno.

Bangsa Indonesia ini mayoritas agama Islam, tetapi ajaran Islam dijauhi oleh sebahagian besar generasi muda dan budaya timur yang menjunjung moralitas bangsa. Pesatnya perkembangan teknologi informasi sangat membuka peluang atau pintu masuknya dekadensii moralitas bangsa karena desakan kebutuhan yang menawarkan gaya hidup glamour. Lemahnya keyakinan generasi muda terhadap ajaran Islam yang dianutnya, membuat mereka sangat mudah tergiur dengan tawaran materi.

Tanggung jawab berbagai elemen bangsa Indonesia, terutama didikan non formal dari Orang Tua, didikan formal dari lembaga pendidikan (sekolah) dan para pemuka agama yang senantiasa menyerukan dan mengajak elemen yang lain untuk membendung pengaruh negative dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informatika. “Pencegahan dini dari masing-masing keluarga sangat penting” karena merupakan benteng pertama sebelum anak-anak ada di luar rumah. Jiwa anak-anak harus dibingkai dengan ajaran Islam dan budaya timur. Generasi muda hari ini adalah penentu nasib bangsa di masa yang akan datang.


Penulis: Marwani , ST.
Mahasiswi Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA dan
Aktivis Partai Amanat Nasional (PAN).
Kunjungi www.marwaniwani.blogspot.com

Rabu, 13 Mei 2009

SBY INKOMUNIKATIF TERHADAP PARTAI-PARTAI MITRA KOALISI DENGAN PD

Kami Kader Partai Amanat Nasional, menyatakan sikap atas kekecewaan kepada Partai Demokrat (PD) yang mengambil sikap yang tidak komunikatif terhadap partai-partai yang akan berkoalisi dengannya. Partai Demokrat telah mengobok-obok beberapa Partai yang akan merapat. Oleh karena itu saatnya kader PAN Se-Indonesia mendukung Bpk. Amien Rais selaku Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat NAsionan (PAN), melakukan ijtihad Politik. Koalisi Alternatif akan lebih menjaga kewibawaan Partai daripada berkoalisi dengan PD yang inkomunikatif. Prof. Dr. Amien Rais adalah kader bangsa yang telah berjasa atas era reformasi, PD hendaknya berterima kasih atas kemenangannya mendapatkan mandate terbanyak dari masyarakat bangsa Indonesia pada pemilu 9 April 2009 kepada Bpk. Amien Rais selaku pelopor reformasi, sebab jika tidak ada era reformasi maka tidak ada yang namanya Partai Demokrat yang ikut berkompetisi pada pesta Demokrasi 2004 dan 2009 yang baru berlangsung. Komunikasi politik yang akan dibangun oleh Bpk Amien Rais hendaknya PD menyambut baik dengan cara jangan mengambil keputusan sepihak, karena itu bukan berkoalisi namanya. Partai-partai yang telah dikecewakan oleh PD yaitu PKS, PAN, PPP, PKB, hendaknya menganulir keinginannya untuk bergabung dengan PD.

PD Inkonsistensi terhadap kriteria cawapres, yang akan mendampingi pada pemilu 8 Juli 2009, “ia dapat diterima oleh banyak kalangan masyarakat”. Bpk Boediono adalah seorang professional di bidang ekonomi yang hendaknya beliau menggunakannya dengan sebaik-baiknya untuk membangun ekonomi bangsa ke depan ke arah yang lebih baik. Beliau adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) yang tidak boleh ada gangguan profesi yang lain. Bagaimana kebijakan moneter bangsa Indonesia yang sebaiknya diambil pada masa krisis seperti ini, pekerjaan ini besar dampak negatifnya kepada masyarakat jika salah mengambil kebijakan. Oleh karena itu para elit politik janganlah mengganggu kinerja Bpk. Boediono dengan mengajak untuk masuk bursa Calon Wakil Presiden (cawapres). Sesungguhnya jabatan Gubernur BI tidak kalah pentingnya dari pada wakil Presiden, apalagi baru tawaran cawapres, yang kemungkinan terpilih tapi juga kemungkinan tidak terpilih menjadi Wapres pada 8 Juli 2009.

Amanat sebagai Gubernur Bank Indonesia, tidak boleh diduakan dengan frofesi lain, itulah sebabnya banyak masyarakat yang tidak setuju dengan keputusan SBY yang akan memilih Bpk. Boediono menjadi cawapres pada pemilu Juli 2009. Bpk SBY hendaknya memperhatikan dan mempertimbangkan argumen masyarakat yang telah memberi mandate tertinggi, karena kemungkinan besar masyarakat tidak akan memberikan mandate lagi pada 8 Juli 2009 ketika tidak didengarkan aspirasi mereka. Jadi, Bpk. SBY kalau mau membangun koalisi yang kuat maka buka komunikasi dengan partai-partai (PKS, PAN, PPP dan PKB) yang sudah menyatakan akan merapat ke PD, adapun kekhawatiran adanya kekecewaan terhadap partai mitra koalisi, hal itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan bahkan lebih kecewa bila partai-partai tersebut tidak diajak berkomunikasi dalam mengambil keputusan.


By : MARWANI DAN NURSIMAH DARA

Senin, 06 April 2009

ELIT POLITIK : JANGAN BIARKAN MASYARAKAT TERLENA
DALAM KEMISKINAN


Nasib masyarakat pada umumnya ada di tangan elit politik dan pemerintah, kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur dimana masyarakat hanya sebagai objek dalam pembangunan. Keterlibatan masyarakat dalam merencanakan pembangunan sangat tidak berarti sehingga tidak ada kasesuaian antara restra (rencana strategi) pembangunan dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Penyebabnya itu semua adalah:
1. Pembiasaan dari para elit politik, “mengambil hati masyarakat dengan pemberian materi”, misalnya pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai), pemberian sembako, dll.
2. Ketidaksabaran dalam merubah paradigma berfikir masyarakat, menjadikan masyarakat tidak kreatif dan inovatif, tentang rencana pembangunan ke depan.
3. Rendahnya moralitas sebagian elit politik, “membuat proyek pembangunan yang murahan”. Misalnya: tidak memperhitungkan kwalitas pembangunan atau “asal jadi”, sehingga jenis anggaran setiap tahun akan berulang dengan jenis proyek yang sama karena dinilai terjadi kerusakan lagi dan bahkan ada beberapa departemen pemerintah mempunyai program yang sama, yang seharusnya tidak boleh seperti itu
4. Masih tingginya budaya pemberian PELICIN PROYEK oleh pengusaha kepada elit politik di DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Akibatnya mendahulukan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat banyak.

Jangan Biarkan Masyarakat Larut Dalam Kebodohan
Ajak mereka berfikir masa depan yang cemerlang dengan memaksimalkan penggalian potensi yang mereka miliki, yakinkan bahwa nasib bangsa ini ada di tangan masyarakat itu sendiri.
Kurangnya kesadaran para sarjana untuk mengaplikasikan ilmunya di masyarakat terutama di pedesaan, ilmu yang mereka miliki belum menjadi beban moral untuk ditransfer kepada masyarakat, terutama ilmu pertanian, perkebunan, peternakan , kehutanan , perikanan, pariwisata, teknik kimia, dll, sehingga UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) di pedesaan terseok-seok. Perlunya meningkatkan kesadaran semua sarjana mengambil perannya masing-masing sesuai spesifikasi ilmu yang mereka miliki untuk terjun ke masyarakat. Oleh karena itu para elit politik bersama-sama pemerintah harus menaruh perhatian terhadap sarjana-sarjana yang masih muda (produktif), bagaimana mereka terjun ke masyarakat untuk melakukan pendampingan dan sekaligus merintis usaha bersama masyarakat. Oleh sebab itu alokasi APBN dan APBD untuk Pendidikan sangat wajar jika mencapai 20 % dari total APBN dan tahun 2010 masih harus mencapai minimal 20% dari total anggaran, karena untuk memenuhi target program dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau Direktur Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional (DITJEN PNFI DEPDIKNAS) dan pendidikan wajib belajar 9 tahun yang mendapatkan keringanan karena adanya program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pendidikan gratis.
Program – program PNFI sebagai salah satu solusi untuk membekali Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) kepada anak-anak yang kurang mampu dan kurang beruntung. Begitu pula diharapkan agar masyarakat ada kemauan membaca dan belajar untuk mendapatkan pengetahuan di luar bangku sekolah, sehingga anggaran pendidikan yang sebanyak 20% sebagian dapat dimanfaatkan untuk penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan mengembalikan fungsi lembaga sebagai taman bacaan dan tempat belajar keterampilan yang mereka butuhkan, dengan demikian perlu fasilitas lembaga yang memadai .
Anggaran pendidikan 20%, diharapkan para sarjana berminat terjun menjadi wirausahawan, tidak lagi menunggu penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil), tetapi semua termotivasi untuk terjun ke masyarakat melakukan pendampingan dan sekaligus bersama mereka menciptakan lapangan kerja baru yang marketable (dibutuhkan oleh pasar). Masyarakat punya potensi untuk maju dan berkembang yang penting diberikan pembelajaran dan senantiasa diajak berembuk untuk meyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Karena tantangan selalu ada, mereka jangan ditinggal ketika terbentur dengan persoalan. Persaingan global semakin ketat, oleh karena itu keberpihakan elit politik di DPR untuk melakukan proteksi pasar yang menguntungkan rakyat kecil itu sangat diharapkan.

Penulis: Marwani , ST.
Mahasiswi Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
Caleg DPR RI , No. urut 10 (terakhir) dari PAN (Partai Amanat Nasional)
Dapil Sulawesi Selatan II (Bulukumba, Sinjai, Bone, Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, Wajo dan Soppeng)
Kunjungi www.marwaniwani.blogspot.com untuk membaca kumpulan tulisan saya